Oleh Linda Ringenberg
Linda adalah seorang misionarisnya MAF yang melayani di Papua, Indonesia,dan yang berkesempatan untuk terbang bersama suaminya, Dave, untuk mengunjungi desa terpencil Nalca baru-baru ini.
Saat kami melangkah keluar dari pesawat Kodiak menuju rerumputan hijau di lapangan terbang Nalca, para perawat dari Klinik Siloam bergiliran memberikan selembar kain Batik berwarna-warni yang mereka kalungkan di leher kami seperti syal. Suami saya, Dave, telah membawa kami sekeluarga, salah satu staf nasional kami, dan seorang videografer dari Amerika Serikat yang telah melakukan perjalanan keliling dunia untuk mengabadikan kisah Dr.Atik
Udara sejuk menyegarkan kami saat kami berjalan menuruni landasan, mengagumi pegunungan terjal yang mengelilingi desa. Kami mengikuti jalan setapak yang membawa kami ke Klinik Siloam di mana para perawat dan Dr. Atik membantu penduduk desa setiap hari dengan kebutuhan kesehatan mereka.
Dr. Atik memperkenalkan kami kepada beberapa orang yang menunggu di klinik. Seorang wanita datang untuk mengucapkan terima kasih kepada MAF karena telah menerbangkannya keluar dari desa dalam keadaan darurat medis. Perawat klinik telah menyelamatkan nyawanya dengan menghentikan pendarahan setelah suaminya memotong tangannya dalam upaya untuk membunuhnya tetapi tidak berhasil. Sekarang tangannya telah sembuh, dan dia sangat bersyukur.
Seorang wanita lain sedang mengandung anak keenamnya. Sayangnya, tiga bayi pertamanya telah meninggal saat dilahirkan. Dr. Atik bertanya-tanya apakah wanita itu terlalu kecil untuk bayi yang bisa bertahan hidup dengan kelahiran normal, jadi untuk kehamilan keempatnya, dia mendorong wanita itu untuk terbang dengan MAF ke kota di mana dia melahirkan secara sesar dan hasilnya Ia memiliki bayi yang sehat! Rencananya untuk bayi yang keenam ini, ia akan melakukan hal yang sama.
Klinik ini merupakan salah satu dari tujuh klinik yang ditempatkan secara strategis di desa-desa terpencil oleh sebuah organisasi Kristen yang didirikan oleh seorang pengusaha Indonesia dan keluarganya. Mereka mendanai sepenuhnya dan memiliki staf yang merupakan lulusan dari universitas kedokteran di Jakarta. Klinik selalu ditempatkan dengan sekolah yang dikelola dengan cara yang sama dari universitas pendidikan mereka. MAF telah menerbangkan sebagian besar perlengkapan untuk membangun sekolah dan klinik ini, dan secara teratur mengangkut para guru dan perawat masuk dan keluar pada waktu istirahat.
Rasa terima kasih masyarakat atas pelayanan MAF dan Dr. Atik serta kepedulian para perawat terlihat jelas. Saya tersentuh melihat, mereka yang berdiri di depan saya adalah orang-orang yang masih hidup sampai sekarang berkat pelayanan klinik dan bantuan MAF.
Bukti nyata dari pelayanan MAF yang membuat perbedaan dalam kehidupan orang-orang ini mengingatkan saya lagi bahwa melayani di sini adalah suatu penghargaan.
Sore itu saya membantu menerjemahkan wawancara yang direkam bersama Dr. Atik. Saya sangat terharu saat dia berbagi tentang kisahnya.
Dr. Atik sangat ingin datang ke Papua setelah menyelesaikan sekolah kedokteran di Jakarta, tetapi orang tuanya menentang ide tersebut. Jadi, untuk menghormati mereka, ia tidak jadi datang, melainkan bekerja di sebuah rumah sakit di Jakarta. Dia akhirnya mengalami beberapa keadaan sulit yang membuatnya sangat terpukul. Setelah beberapa tahun kemudian, ia kembali merasakan kerinduan yang mendalam untuk kembali melayani masyarakat Papua, dan kali ini keluarganya tidak menghalanginya.
Saat berusia 40 tahun, Dr. Atik mendarat di Papua tanpa pekerjaan dan tanpa kontak. Akhirnya ia diundang untuk bergabung dengan staf Klinik Siloam sebagai dokter keliling untuk memberikan bimbingan dan keahliannya di berbagai lokasi, yang telah ia lakukan selama tujuh tahun terakhir.
Suatu hari ia bertanya kepada Tuhan, “Mengapa Engkau tidak mengijinkan saya melakukan hal ini lebih awal dalam hidup saya?” Dan Tuhan menjawab, “Karena, anak-Ku, kamu akan datang dengan kekuatanmu sendiri. Sekarang kamu tahu bahwa kamu tidak dapat melakukan hal ini dengan kekuatanmu sendiri dan kamu melayani di dalam kekuatanKU.”
Semua perawat merasa sedih mengucapkan selamat tinggal kepada Dr.Atik keesokan paginya saat ia terbang dari Nalca bersama kami untuk menghadiri pembukaan Klinik Siloam yang ketujuh di desa yang berbeda. MAF diberkati untuk bermitra dengan beliau dan semua staf Klinik Siloam untuk menjangkau yang terkecil, yang terakhir, dan yang terhilang bagi Yesus.