LATEST PROMOTIONAL CAMPAIGN
My Account

Sebuah Warisan Pelayanan

Kilas balik 50 tahun MAF di Kalimantan Utara

Pada tahun 1971, pilot MAF Dave Hoisington menerbangkan delegasi konferensi gereja dari Papua, Indonesia, ke pangkalan MAF di Kalimantan Barat, Indonesia. Ketika berhenti untuk mengisi bahan bakar di pulau kecil Tarakan, ada seorang wanita menghampirinya di landasan pacu bandara.

Wanita itu bernama Elizabeth Jackson, seorang misionaris yang Dave pernah temui dalam penerbangan sebelumnya ke Kalimantan. Wanita ini bertanya apakah ia bisa menumpang ke Kalimantan Barat. “Saya masih punya tempat duduk yang kosong, jadi saya berkata, ‘Tentu saja’,” kenang Dave.

Keluarga Hoisington di Tarakan. Foto milik keluarga Hoisingtons.

Sebelum lepas landas, Elizabeth bertanya kepada Dave apakah dia tahu di mana Long Nawang berada. Dia pun melihat peta, yang pada saat itu memiliki bagian besar bertuliskan “data relief tidak diketahui”. Namun, ketika menarik garis dari Tarakan ke tujuan mereka di Pontianak, jalur penerbangannya melewati Long Nawang, salah satu dari sedikit tempat yang ditunjukkan di peta.

“Saat itulah Elizabeth mengatakan kepada saya bahwa suaminya telah terbunuh di sana pada Perang Dunia II dan dia belum pernah melihat tempat itu,” kata Dave.

Long Nawang tidak memiliki landasan terbang, jadi Dave melakukan tiga kali penerbangan rendah dan lambat agar Elizabeth dapat melihat tempat di mana kehidupan suaminya berakhir dengan tragis.

Elizabeth dan Fred Jackson. Foto milik CMA.
Pada tahun 1973, MAF meminta Dave, bersama istrinya, Ruth, dan ketiga anak mereka, untuk pindah dari Papua ke Tarakan untuk mendirikan pangkalan MAF di sana. Mereka menyewa sebuah rumah tanpa listrik dan air, yang terletak di dekat dermaga yang sibuk.

Untuk tahun pertama, Dave tidak diizinkan oleh pemerintah untuk membawa radio di pesawatnya, jadi ketika dia lepas landas di pagi hari, Ruth tidak akan tahu bagaimana kabar penerbangannya hingga dia kembali di malam hari.

Ketika ia terbang ke pedalaman Kalimantan Utara, ia mulai belajar lebih banyak tentang sejarah daerah tersebut dan orang-orang yang telah memberikan hidup mereka untuk pengabaran Injil di sana.

Mereka yang telah pergi sebelumnya

Pada tahun 1938, Christian and Missionary Alliance (CMA) membeli sebuah pesawat apung Beechcraft Staggerwing. George Fisk dan istrinya, Anna, telah melayani di Kalimantan sejak tahun 1929 dan George meminta sebuah pesawat setelah mendapatkan lisensi pilot. Pesawat ini akan memangkas waktu perjalanannya ke daerah pegunungan dan pedalaman terpencil dari berminggu-minggu menjadi hanya beberapa jam saja. George diyakini sebagai orang pertama yang menggunakan pesawat untuk melakukan misi pelayanan.

George dan Anna Fisk, misionaris persekutuan Kristen di atas pesawat terbang Beechcraft Staggerwing. Foto arsip CMA.

Ketika tiba waktunya bagi George dan Anna untuk cuti, dia menyerahkan tugas pilot kepada misionaris CMA, Fred Jackson. Istrinya, Elizabeth, tidak diizinkan untuk bergabung dengannya, tetapi ia berencana untuk bergabung segera setelah dia mendapatkan izin yang diperlukan.

Ada misionaris lain juga yang melayani di bagian utara Kalimantan pada saat itu. Ernest Presswood memulai sekolah Alkitab pertama di daerah tersebut dan kemudian bergabung dengan seorang misionaris bernama John Willfinger. Mereka berdua berkeliling dari desa ke desa, membagikan pesan pengharapan. Mereka membawa sekelompok orang Kristen muda dari Sulawesi Selatan ke sebuah daerah yang disebut Krayan untuk memuridkan suku Dayak (istilah umum untuk penduduk asli Kalimantan) yang baru menjadi percaya di sana.

Kemudian Perang Dunia II meletus dan tentara Kekaisaran Jepang masuk ke Kalimantan. Mereka ingin merebut pesawat misi CMA, namun pesawat tersebut dibongkar dan ditenggelamkan di sungai agar tidak jatuh ke tangan musuh. Ketika Jepang mendengar hal ini, mereka mengeksekusi Fred Jackson di Long Nawang.

Misionaris lainnya mengalami nasib yang sama. Sekelompok masyarakat Dayak menawarkan diri untuk menyembunyikan John Willfinger dari kejaran tentara Jepang tetapi dia tidak ingin membahayakan mereka, jadi dia menyerahkan diri dan dieksekusi.

Ernest Presswood bertahan hidup selama beberapa tahun di kamp pengasingan Jepang, namun meninggal karena sakit beberapa saat setelah perang berakhir.

Tampaknya upaya misionaris akan terhenti.

Gereja yang bertumbuh

Ketika Dave Hoisington mulai membuka lapangan terbang di Kalimantan Utara pada awal tahun 1970-an, ia menemukan bahwa terlepas dari segala rintangan yang dihadai namun gereja-gereja justru mengalami pertumbuhan yang fenomenal sejak Perang Dunia II.

Long Nawang, tempat ia pernah berputar-putar di atas langit bersama Elizabeth Jackson, adalah salah satu lapangan terbang pertama yang didarati. Kepala desa menghadiahkan Dave sebuah pedang seremonial, sebagai tanda terima kasih atas jasa MAF. “Saya masih menyimpannya,” kata Dave.

Dave Hoisington menerima sebuah pedang simbolis dalam sebuah acara penyambutan di Long Nawang. Foto ini milik keluarga Hoisington.

Dave mengetahui bahwa anak-anak muda Kristen yang ditinggalkan oleh Willfinger dan Presswood di Krayan telah mendirikan sekolah Alkitab dan melatih para penginjil untuk pergi ke daerah-daerah sekitarnya. Sekolah Alkitab lainnya di desa Long Bia juga beroperasi ketika pangkalan MAF di Tarakan dibuka, dan banyak penerbangan dilakukan selama bertahun-tahun untuk mendukung sekolah-sekolah ini.

Dave mengatakan bahwa ia terinspirasi oleh orang-orang percaya suku Dayak dan merasa kagum dengan pengorbanan para misionaris mula-mula.

“Kualitas orang-orang Kristen suku Dayak di pedalaman kalimantan merupakan kesaksian nyata akan kemampuan Injil untuk mengubah sebuah hati,” katanya. “Kami merasa seperti hanya mengikuti jejak Ernie Presswood dan John Willfinger.”

Generasi-generasi Orang Percaya

Pendeta Son adalah generasi ketiga dari orang Kristen yang berasal dari suku Dayak. Kakek dan neneknya menceritakan kepadanya kisah-kisah sebelum Injil datang ke Krayan, bagaimana orang-orang mereka dikenal sebagai pemburu kepala dan yang terikat pada kepercayaan animisme.

Kemudian para misionaris datang dengan membawa berita tentang kasih karunia Yesus yang menyelamatkan. Kakek dari Pendeta Son adalah salah satu orang percaya pertama yang dibaptis oleh Ernest Presswood.

Sekolah Alkitab yang diberi nama untuk mengenang John Willfinger berada di Kampung Baru, kampung halaman Pendeta Son. Kenangan utama dari masa kecilnya adalah suara pesawat MAF yang mendarat di dekatnya. “Setiap kali pesawat MAF mendarat, kami semua akan keluar dari kelas untuk melihat pesawat dan memperhatikan semua yang dilakukan pilot,” kenang Pendeta Son. “Saya sering melihat bagaimana pesawat MAF membawa orang-orang yang akan belajar di sekolah Willfinger.”

Pendeta Son sedang berbicara pada Perayaan Ulang Tahun ke-50 MAF di Tarakan. Foto oleh Philip Limawan.

Pendeta Son dan keluarganya pindah ke Tarakan pada tahun 1979, mereka diterbangkan ke sana dengan menggunakan pesawat MAF. “Pada saat itu, pesawat MAF adalah satu-satunya alat transportasi keluar dari Krayan. Daerah itu sangat terisolasi secara geografis.”

Setelah lulus kuliah, Pendeta Son memimpin beberapa gereja di Kalimantan. Saat ini ia menjabat sebagai ketua regional gereja-gereja CMA (GKII) di Kalimantan Utara, dan juga seorang profesor di sekolah Alkitab Willfinger dimana sekolah ini telah melatih ratusan penginjil dan pengkhotbah.

“MAF telah menjadi mitra terpenting dalam mendukung pelayanan GKII diKalimantan Utara dalam memberikan bantuan transportasi bagi para hamba Tuhan dan juga barang-barang yang dibutuhkan oleh gereja yang berada di daerah-daerah yang sulit dijangkau,” ujar Pdt. Son. “Kalau bukan karena bantuan penerbangan MAF, tidak mungkin kami dapat dengan cepat menjangkau beberapa daerah strategis untuk penginjilan di tahun 1980-an.”

Kesetiaan didalam Pelayanan

Selama lima dekade, staf MAF telah setia melayani komunitas-komunitas terpencil di Kalimantan. Tak terhitung berapa banyak bantuan medis, ratusan ribu kilogram kargo, dan ribuan penumpang yang telah diangkut oleh pesawat MAF.

Jenis pesawat telah berubah selama bertahun-tahun-dari pesawat bermesin piston dengan peralatan navigasi minimal seperti yang diterbangkan Dave Hoisington, hingga pesawat bertenaga turbin dengan sistem avionik dan GPS yang canggih, seperti Quest Kodiak yang saat ini diterbangkan.

Meskipun tampilan pesawat telah berubah, namun inti dari misi yang diemban tidak berubah, dan inilah yang terus menginspirasi Direktur Program Kalimantan, Jeremy Toews.

“Selama 50 tahun, MAF telah membuat perbedaan besar didalam kehidupan masyarakat di komunitas yang kami layani,” ujarnya baru-baru ini. “Tak terhitung berapa banyak nyawa yang telah diselamatkan selama bertahun-tahun,” katanya, “mulai dari bayi yang lahir dalam keadaan gawat darurat, korban luka bakar, hingga pasien tifus.”

MAF melakukan sekitar 200 penerbangan medevac setiap tahunnya, dengan banyak pasien dan keluarga mereka yang telah menerima bantuan secara langsung serta menerima konseling rohani dari pelayanan rumah sakit MAF.

Meskipun penerbangan medevac, kargo, penumpang dan gereja telah menjadi bagian terbesar dari pelayanan MAF selama bertahun-tahun, MAF juga bekerja sama dengan mitra-mitra pelayanan di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terpencil di Kalimantan yang belum terpenuhi.

Salah satu mitra baru adalah Kartidaya, organisasi penerjemahan Alkitab di Indonesia yang bekerja sama dengan Penerjemah Alkitab Wycliffe. Fasilitator penerjemahan, Darmaputra Podengge, mengatakan bahwa ia mengetahui tentang MAF beberapa tahun yang lalu dan sebagai solusi yang memungkinkan untuk kebutuhan transportasi mereka dalam membawa tim penerjemah ke tempat-tempat yang sulit dijangkau.

Keluarga besar MAF dan tamu-tamu istimewa pada Perayaan Ulang Tahun ke-50 di Tarakan, Kalimantan. Foto oleh Philip Limawan.

“Puji Tuhan, kami memiliki visi yang sama dengan MAF, yaitu melayani suku-suku di Kalimantan agar semua suku ini dapat memuliakan Tuhan,” katanya. “Sejak tahun 2019, MAF telah mendukung pelayanan penerjemahan Alkitab yang kami kerjakan.”

Di salah satu desa di mana kegiatan penterjemahan sedang berlangsung, Darmaputra menceritakan, mereka disambut dengan sukacita ketika mereka membawa sebuah Alkitab terjemahan Lukas yang baru saja selesai diterjemahkan. “Seorang hamba Tuhan yang melayani di sana berkata, ‘Saya telah berdoa dan memimpikan Firman Tuhan dalam bahasa Kenyah Lepo’ Ke selama 20 tahun. Puji Tuhan, sekarang Firman Tuhan ini ada di tangan saya!”

Melihat ke depan untuk masa depan MAF di Kalimantan Utara, Jeremy memperkirakan bahwa akan terus ada kebutuhan untuk pelayanan ini. “Ada banyak tempat di pedalaman yang belum mengalami banyak perubahan dalam hal infrastruktur transportasi. Saya belum dapat melihat akan adanya perubahan drastis dalam 50 tahun ke depan.”

Penghargaan dari beberapa Kalangan

Keluarga Hoisington kembali ke AS pada akhir 1974, setelah membantu keluarga MAF kedua, yaitu Paul dan Doris Huling untuk menetap di Tarakan. Dan Lebih banyak lagi Staf baru jumlahnya lebih dari 100 keluarga yang menyusul dalam beberapa dekade berikutnya.

Pada pertemuan baru-baru ini di kantor pusat MAF, para staf yang mewakili setiap dekade pelayanan di Kalimantan berbagi cerita tentang pengalaman mereka di sana. Beberapa dari mereka untuk pertama kalinya mendengar bagaimana program ini dimulai pada tahun 1973. Dave dan Ruth terus mengikuti perkembangan dengan apa yang terjadi pada tahun-tahun setelah mereka pergi, dan mereka mengatakan bahwa hati mereka merasa terharu ketika mengetahui bahwa pelayanan ini masih terus berlanjut.

“Itu adalah pengalaman yang tidak mudah, tetapi kami merasa itu sepadan,” kata Dave.

Para istri dari keluarga MAF pada perayaan tersebut. Foto oleh Philip Limawan.

PEkerja Misi Ernest Presswood (paling kiri) dan John Willfinger (paling kanan) bersama umat Tuhan di Kalimantan Utara, Indonesia. Foto arsip CMA.

Presiden MAF, David Holsten, berbincang dengan temannya, Ajang, seorang pelanggan MAF, di desa pedalaman Paupan, Kalimantan Utara, Indonesia. Foto oleh Philip Limawan.

David Holsten (kedua dari kanan) berinteraksi dengan Wally Wiley dari MAF (sebelah kiri David) dan Chairman MAF Joel Barker (paling kiri) dan istrinya, Donna. Foto oleh Philip Limawan.

Pilot MAF, Joel Driscoll di cockpit pesawat bersama David Holsten, terbang ke sebuah desa pedalaman di Kalimantan Utara, Indonesia. Foto oleh Philip Limawan.

Untuk melihat lebih banyak foto dan urutan waktu, lihat ceritanya di 

https://issuu.com/maf.org/docs/january_flightwatch_vol1_digital-paged

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Ut elit tellus, luctus nec ullamcorper mattis, pulvinar dapibus leo.

Saya mau mendengar pekerjaan Allah di pedalaman Indonesia!

Berlangganan cerita transformasi dan harapan terbaru dari pedalaman Indonesia!

Kisah

Search this Website

Notify Me of Upcoming Adventures

Name(Required)

Share This

Facebook
Twitter
LinkedIn
Email