Seorang jurnalis MAF mengunjungi desa-desa terpencil dengan menggunakan pesawat terbang dan perahu yang kemudian memberikan pemahaman baru bagi Jurnalis tersebut tentang pelayanan ini.
Oleh Natalie Holsten
Pertengahan tahun ini saya berkesempatan untuk kembali ke Kalimantan, Indonesia, tempat suami saya David dan saya bersama dengan keempat anak kami menghabiskan satu dekade melayani bersama MAF.
Setelah tinggal di Amerika Serikat selama empat tahun dan kembali lagi ke tempat yang masih terasa seperti rumah sendiri, merupakan suatu anugerah. Sepuluh hari saya di Kalimantan dipenuhi dengan pengumpulan berbagai kisah untuk MAF, Saya bertemu dengan teman lama, dan makan nanas termanis di dunia.
Selama masa kunjungan saya, saya melakukan beberapa perjalanan ke daerah pedalaman bersama pilot MAF Tyler Schmidt. Penerbangan kami di antaranya membawa guru sekolah Alkitab dan tim pemuridan, serta penerbangan evakuasi untuk seorang pasien yang masih berusia muda yang sakit kanker.
Ketika saya melihat Tyler menjalankan tugasnya, saya diingatkan betapa beratnya pekerjaan pilot MAF secara fisik. Dan yang saya lakukan hanyalah duduk di dalam pesawat dan sayapun kelelahan.
Sementara itu, Tyler terbang di tengah cuaca buruk dan mendarat di landasan pacu yang pendek serta mengurus penumpang dan bongkar muat barang. Dia melakukan ini semua didaerah yang ber-iklim tropis di mana Anda bisa berkeringat hanya dengan duduk di tempat teduh. Saya sangat terkagum-kagum dengan apa yang dilakukan oleh para pilot MAF kami.
Saya juga teringat betapa terisolasinya masyarakat di pedalaman. Saya merasakan sendiri betapa terisolasinya mereka ketika Tyler lepas landas dengan MAF Kodiak, meninggalkan saya dan videografer MAF, Lem, bersama tim pelayanan Hati MAF di desa Long Pujungan. Sungguh mengkhawatirkan karena kami benar-benar terputus dari dunia luar tanpa jalan keluar yang cepat dan mudah.
Untuk menambah rasa terisolasi itu, kelompok kami berencana untuk naik perahu selama dua jam ke hulu sungai yaitu ke desa kecil bernama Long Belaka. Saya merasa gugup, karena saya tahu betapa berbahayanya perjalanan karena melalui sungai yang cukup panjang.
Tapi saya tidak perlu khawatir karena kami diberi jaket pelampung yang masih terlihat baru (“Karena kami tidak pernah memakainya!” canda pengemudi perahu kami) dan kami juga diberikan topi kerucut untuk melindungi kami dari sinar matahari. Akhirnya pengemudi Handal kami mengantarkan kami dengan selamat setelah melewati ombak yang cukup deras.
Saat kami melakukan perjalanan melewati hutan, saya merasa sangat senang melihat sesuatu yang berharga, mengalami sesuatu yang belum pernah dialami oleh orang luar, seperti adegan-adegan dalam film dokumenter National Geographic. Saya merasa sangat kecil dan kagum dengan luasnya hutan, tetapi juga terhibur karena saya tahu bahwa sudut dunia yang jauh sekalipun, dikenal dan dikasihi oleh Sang Pencipta.
Sesampainya di Long Belaka, kami disambut oleh kepala sekolah dan seorang pendeta yang memberi tahu kami tentang kebutuhan masyarakat setempat.
Mereka adalah suku nomaden tradisional yang terkadang menghilang selama berminggu-minggu sehingga mengganggu pendidikan anak-anak mereka. Anak-anak mereka banyak menikah muda. Mereka sering kali kurang menanam padi yang cukup untuk menghidupi diri mereka sendiri. Mereka masih memegang teguh kepercayaan animisme.
Inilah sebabnya mengapa rombongan kami berkunjung supaya anggota tim Hati MAF dapat menilai kebutuhan dan melihat apakah ada cara untuk membantu masyarakat di sana.
Ketika rombongan kami tiba kembali di Long Pujungan keesokan harinya, saya merasakan kegembiraan saat mendengar suara merdu dan indah dari sebuah pesawat Kodiak yang mendekat untuk menjemput kami.
Saya membayangkan bagaimana rasanya berada dalam situasi putus asa, membutuhkan bantuan medis, dan mendengar pesawat tiba, mengetahui bahwa pesawat itu akan membawa saya ke tempat perawatan medis yang lebih baik.
Banyak orang yang saya ajak bicara di Long Pujungan dan desa-desa lain memiliki cerita tentang bagaimana MAF telah memberikan dampak yang sangat besar bagi mereka, baik melalui penerbangan medevac, atau mengantar mereka ke sekolah, atau membawa barang-barang yang sangat mereka butuhkan. Mereka menceritakan kisah-kisah mereka dengan rasa terima kasih dan kasih sayang yang jelas untuk pelayanan MAF.
Perjalanan saya kembali ke Kalimantan menjadi pengingat bahwa keterisolasian masih ada, dan MAF terus menjadi pelayanan yang sangat dibutuhkan di banyak tempat di seluruh dunia.