LATEST PROMOTIONAL CAMPAIGN
My Account

Sekolah Lentera Harapan

Pendidikan anak secara utuh di desa-desa terpencil di Papua

Oleh Linda Ringenberg

Ibu Liza dan saya dengan hati-hati berjalan di atas tanah berlumpur saat kami menuju ke Sekolah Lentera Harapan di desa terpencil di Papua, yaitu desa Nalca. Ibu Liza bekerja sebagai perwakilan hubungan antar gereja di kantor MAF Sentani. Dia bergabung dengan keluarga kami dalam perjalanan ke Nalca untuk melihat secara langsung pekerjaan yang menyelamatkan nyawa oleh Dr. Atik, yang adalah seorang dokter dari Jakarta yang mengawasi tujuh Klinik Siloam di pedalaman Papua. Selanjutnya, kami juga akan melihat sekolah mereka yang sedang berjalan.

Kami menaiki anak tangga kayu menuju panggung yang membentang di luar ruang kelas SD dan mengintip dari balik kawat-kawat yang digunakan untuk menutupi jendela-jendela yang terbuka. Kelas-kelas dihiasi dengan poster dan gambar berwarna cerah. Murid-murid TK duduk berjajar rapi di atas tikar sambil mendengarkan guru mereka berbicara.

Kelas TK Lentera Harapan di Nalca. Foto oleh Linda Ringenberg.)

Memasuki ruangan kelas 2 untuk mengambil beberapa foto, kami mengamati angka-angka yang ditulis dalam kolom-kolom yang teratur di papan tulis. Sang guru menunjuk ke setiap angka berikutnya sambil siswa menyebutkan angka tersebut. Kemudian, dia melakukan sesuatu yang berbeda. Ia mulai menunjuk angka secara acak, tidak berurutan, dan memanggil satu per satu siswa untuk menyebutkan nama angkanya. Murid-murid menjawab dengan sempurna.

Sukacita dan kepuasan muncul dalam diri saya saat kami menyaksikan momen ini.

Murid-murid kelas dua menyebutkan angka-angka yang ditunjuk oleh guru SLH di papan tulis. Foto oleh Linda Ringenberg

Di sebagian besar dari desa terpencil, tidak ada sekolah yang layak, dan bahkan anak-anak tidak mendapatkan pendidikan sama sekali. Para guru di Sekolah Lentera Harapan, atau SLH, mengubah semua itu untuk anak-anak di Nalca, serta enam desa terpencil lainnya di mana terdapat sekolah-sekolah cabang SLH.

Para siswa ini juga belajar lebih dari sekadar menghafal. Sekolah-sekolah reguler kebanyakan hanya mengajarkan pada tingkat ini saja. Para siswa SLH ini dipindahkan ke tingkat pemahaman dan korelasi, atau memecahkan sebuah permasalahan. Mereka diajari keterampilan berpikir yang lebih tinggi, yang akan membuka lebih banyak peluang kerja bagi mereka.

Saya melihat suami saya, Dave, dan putra saya, Ryan, di ruang kelas empat. Ryan sedang berbagi semangat dengan anak-anak tentang sekolah, dan Dave mengajari mereka kalimat dalam bahasa Inggris, “school is cool!”

Ryan Ringenberg, sebelah kanan, sedang berbicara di depan siswa-siswi kelas empat di SLH Nalca. Foto oleh Linda Ringenberg.

Ibu Liza dan saya melanjutkan kunjungan kami ke ruang kelas enam di mana kami memberikan setiap murid sebuah Alkitab khusus anak yang telah disumbangkan oleh sebuah organisasi Kristen. Salah satu murid, seorang anak perempuan bernama Klister, Ia bercita-cita untuk menjadi seorang pilot. Setelah kelas selesai, Ibu Liza duduk bersama Klister dan seorang murid lainnya dan meminta mereka membacakan buku tersebut. Saya perhatikan bahwa mereka membaca dalam bahasa Indonesia dengan sangat baik.

SLH juga mengajar dari sudut pandang Alkitabiah dan mendidik tentang kebersihan dan perawatan kesehatan di samping itu juga ada mata pelajaran reguler yang diajarkan.

Sore harinya, saya berjalan bersama Dave dan Ryan menyusuri lapangan terbang Nalca. Anak-anak di sekitar kampung mengikuti kami, membantu membawa perlengkapan untuk memasang dasar semen untuk tiang angin yang baru yang disediakan MAF untuk kampung tersebut. Ryan mencampur semen pertama sementara Dave mencoba mengajak anak-anak untuk mengulangi kalimat “sekolah itu keren!” Anak-anak memandang kami dengan mata yang lebar dan malu-malu. Dave mencoba beberapa kali lagi, dan akhirnya Klister berkata dengan suara lantang, “Sekolah itu keren!”

Klister bantu mencampur semen untuk pemasangan windsock yang baru bersama Dave Ringenberg di Nalca. Foto oleh Linda Ringenberg.

Saya beritahu Dave bahwa Klister ingin menjadi pilot dan Dave mengundangnya untuk membantu mencampur semen berikutnya. Seringkali anak-anak didesa sangat malu-malu dengan orang luar, tetapi Klister dengan percaya diri mulai bekerja, membantu seluruh proses.

Dave Ringenberg bersama Klister di Nalca. Foto oleh Linda Ringenberg

Malam itu kami berkumpul bersama dengan staf klinik dan sekolah. Kami menikmati hidangan nasi goreng yang lezat dan menyanyikan lagu-lagu pujian sebelum Dave membagikan Firman Tuhan. Mereka sangat haus akan dorongan semangat dari kami. Sungguh suatu berkat bisa bersama dengan para guru dan perawat ini untuk menyemangati mereka dalam menjalani pekerjaan yang baik di tempat yang sangat terisolasi ini. Mereka sangat berterima kasih kepada MAF dan pelayanan yang kami berikan, karena membantu mereka untuk tidak merasa sendirian.

Klinik Siloam dan Sekolah Lentera Harapan adalah salah satu mitra prioritas MAF di Papua. Kami tidak hanya menerbangkan sebagian besar material untuk membangun gedung-gedung yang dibutuhkan, namun MAF juga membawa pasokan yang sangat dibutuhkan ke tujuh kampung di mana sekolah dan klinik ini berada. Para guru dan perawat mengandalkan bantuan MAF untuk mengangkut mereka ke kota untuk istirahat. Kami diberkati untuk melayani orang-orang yang berdedikasi tinggi yang mengorbankan begitu banyak hal untuk membuat perbedaan bagi Kristus dalam kehidupan orang-orang yang terisolasi ini.

Ini adalah cerita kedua dari dua cerita yang ditulis oleh misionaris MAF, Linda Ringenberg, tentang kunjungan keluarganya ke Nalca di Papua, Indonesia. Untuk membaca cerita sebelumnya, kunjungi A Faithful Doctor | MAF Story Hub.

Kisah

Sebuah Warisan Pelayanan

Kilas balik 50 tahun MAF di Kalimantan Utara Pada tahun 1971, pilot MAF Dave Hoisington menerbangkan delegasi konferensi gereja dari Papua, Indonesia, ke pangkalan MAF

Read More »

Search this Website

Notify Me of Upcoming Adventures

Name(Required)

Share This

Facebook
Twitter
LinkedIn
Email